Jumat, 06 Januari 2012

TokohHukum Islam Indonesia HASBY ASY-SYIDDIEQY


1. HASBI ASY-SYIDDIEQY
1.a. Biografi
Prof Dr TM Hasbi Ash-Shiddieqy dilahirkan di Lhokseumawe, 10 Mac 1904. Nama sebenarnya ialah Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Ayahnya, Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su'ud, adalah seorang ulama terkenal di kampungnya dan mempunyai sebuah pesantren (meunasah). Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, putri seorang Qadhi Kesultanan Aceh ketika itu. Menurut silsilah, Hasbi ash-Shiddieqy adalah keturunan Abu Bakar ash-Shiddieq (573-13 H/634 M), khalifah pertama. Ia sebagai generasi ke-37 dari khalifah tersebut melekatkan gelar ash-Shiddieqy di belakang namanya                                                                              

Pendidikan agamanya diawali di dayah (pesantren) milik ayahnya. Kemudian selama 20 tahun ia mengunjungi berbagai dayah dari satu kota ke kota lain. Pengetahuan bahasa Arabnya diperoleh dari Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama berkebangsaan Arab. Pada tahun 1926, ia berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati (1874-1943), ulama yang berasal dari Sudan yang mempunyai pemikiran modern ketika itu. Di sini ia mengambil pelajaran takhassus (spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan bahasa. Pendidikan ini dilaluinya selama 2 tahun. Al-Irsyad dan Ahmad Soorkati inilah yang ikut berperan dalam membentuk pemikirannya yang modern sehingga, setelah kembali ke Aceh. Hasbi ash-Shiddieqy langsung bergabung dalam keanggotaan organisasi Muhammadiyah.
1.b. Hasil Pemikiran
Seperti halnya ulama lain, Hasbi ash-Shiddieqy berpendirian bahwa syariat Islam bersifat dinamis dan elastis, sesuai dengan perkembangan masa dan tempat. Ruang lingkupnya mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan sesama maupun dengan Tuhannya. Syariat Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT., ini kemudian dipahami oleh umat Islam melalui metode ijtihad untuk dapat mengantisipasi setiap perkembangan yang timbul dalam masyarakat. Ijtihad inilah yang kemudian melahirkan fiqh.

Akan tetapi menurut Hasbi ash-Shiddieqy, banyak umat Islam, khususnya di Indonesia, yang tidak membedakan antara syariat yang langsung berasal dari Allah SWT, dan fiqh yang merupakan pemahaman ulama mujtahid terhadap syariat tersebut. Selama ini terdapat kesan bahwa umat Islam Indonesia cenderung menganggap fiqh sebagai syariat yang berlaku absolut. Akibatnya, kitab-kitab fiqh yang ditulis imam-imam mazhab dipandang sebagai sumber syariat, walaupun terkadang relevansi pendapat imam mazhab tersebut ada yang perlu diteliti dan dikaji ulang dengan konteks kekinian, karena hasil ijtihad mereka tidak terlepas dari situasi dan kondisi sosial budaya serta lingkungan geografis mereka. Tentu saja hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat kita sekarang.      

Mereka cenderung memaksakan keberlakuan fiqh imam-imam mazhab tersebut. Sebagai alternatif terhadap sikap tersebut, ia mengajukan gagasan perumusan kembali fiqh Islam yang berkepribadian Indonesia. Menurutnya, umat Islam harus dapat menciptakan hukum fiqh yang sesuai dengan latar belakang sosiokultur dan religi masyarakat Indonesia. Namun begitu, hasil ijtihad ulama masa lalu bukan berarti harus dibuang sama sekali, melainkan harus diteliti dan dipelajari secara bebas, kritis dan terlepas dari sikap fanatik. Dengan demikian, pendapat ulama dari mazhab manapun, asal sesuai dan relevan dengan situasi masyarakat Indonesia, dapat diterima dan diterapkan.   

Untuk usaha ini, ulama harus mengembangkan dan menggalakkan ijtihad. Menurutnya, untuk menuju fiqh Islam yang berwawasan ke Indonesiaan, ada tiga bentuk ijtihad yang perlu dilakukan.

Pertama, ijtihad dengan mengklasifikasi hukum-hukum produk ulama mazhab masa lalu. Ini dimaksudkan agar dapat dipilih pendapat yang masih cocok untuk diterapkan dalam masyarakat kita.
Kedua, ijtihad dengan mengklasifikasi hukum-hukum yang semata-mata didasarkan pada adat kebiasaan dan suasana masyarakat di mana hukum itu berkembang. Hukum ini, menurutnya, berubah sesuai dengan perubahan masa dan keadaan masyarakat.          
Ketiga, ijtihad dengan mencari hukum-hukum terhadap masalah kontemporer yang timbul sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti transplantasi organ tubuh, bank, asuransi, bank, air susu ibu, dan inseminasi buatan.      

Karena kompleksnya permasalahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan peradaban, maka pendekatan yang dilakukan untuk mengatasinya tidak bisa terpilah-pilah pada bidang tertentu saja. Permasalahan ekonomi, umpamanya, akan berdampak pula pada aspek-aspek lain. Oleh karena itu, menurutnya ijtihad tidak dapat terlaksana dengan efektif kalau dilakukan oleh pribadi-pribadi saja. Hasbi ash-Shiddieqy menawarkan gagasan ijtihad jama'i (ijtihad kolektif). Anggotanya tidak hanya dari kalangan ulama, tetapi juga dari berbagai kalangan ilmuwan muslim lainnya, seperti ekonom, dokter, budayawan, dan politikus, yang mempunyai visi dan wawasan yang tajam terhadap permasalahan umat Islam. Masing-masing mereka yang duduk dalam lembaga ijtihad kolektif ini berusaha memberikan kontribusi pemikiran sesuai dengan keahlian dan disiplin ilmunya. Dengan demikian, rumusan ijtihad yang diputuskan oleh lembaga ini lebih mendekati kebenaran dan jauh lebih sesuai dengan tuntutan situasi dan kemaslahatan masyarakat. Dalam gagasan ijtihad ini ia memandang urgensi metodologi pengambilan dan penetapan hukum (istinbath) yang telah dirumuskan oleh ulama seperti qias, istihsan, maslahah mursalah (maslahat) dan urf.           

Lewat ijtihad kolektif ini, umat Islam Indonesia dapat merumuskan sendiri fiqh yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Rumusan fiqh tersebut tidak harus terikat pada salah satu mazhab, tetapi merupakan penggabungan pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Dan memang, menurutnya hukum yang baik adalah yang mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya, adat-istiadat, dan kecenderungan masyarakat yang bersangkutan. Hasbi ash-Shiddieqy bahkan menegaskan bahwa dalam sejarahnya banyak kitab fiqh yang ditulis oleh ulama yang mengacu kepada adat-istiadat (urf) suatu daerah. Contoh paling tepat dalam hal ini adalah pendapat Imam asy-Syafi'i yang berubah sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya. Pendapatnya ketika masih di Irak (qaul qadim/pendapat lama) sering berubah ketika ia berada di Mesir (qaul jadid/pendapat baru) karena perbedaan lingkungan dan adat-istiadat kedua daerah.           

Selain pemikiran di atas, ia juga melakukan ijtihad untuk menjawab permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat. Dalam persoalan zakat, umpamanya, pemikiran ijtihad Hasbi ash-Shiddieqy tergolong modern dan maju. Secara umum ia sependapat dengan jumhur ulama yang mengatakan bahwa yang menjadi objek zakat adalah harta, bukan orang. Oleh karena itu, dari harta anak kecil yang belum mukalaf yang telah sampai nisabnya wajib dikeluarkan zakatnya oleh walinya.   

Hasbi ash-Shiddieqy memandang bahwa zakat adalah ibadah sosial yang bertujuan untuk menjembatani jurang antara yang kaya dan yang miskin . Oleh sebab itu ia berpendapat bahwa zakat dapat dipungut dari non muslim (kafir kitabi) untuk diserahkan kembali demi kepentingan mereka sendiri. Ia mendasarkan pendapatnya pada keputusan Umar ibn al-Khaththab (581-644 M.), khalifah kedua setelah Nabi Muhammad saw. wafat, untuk memberikan zakat kepada kaum zimmi atau ahluz zimmah (orang-orang non muslim yang bertempat tinggal di wilayah negara Islam) yang sudah tua dan miskin. Umar juga pernah memungut zakat dari orang Nasrani Bani Tughlab. Pendapat ini dilandasi oleh prinsip pembinaan kesejahteraan bersama dalam suatu negara, tanpa memandang agama dan golongannya.           

Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, karena fungsi sosial zakat adalah untuk mengentaskan kemiskinan, maka prinsip keadilan haruslah diutamakan dalam pemungutan zakat. Ia berpendapat bahwa standarisasi ukuran nisab sebagai syarat wajib perlu ditinjau ulang. Ia memahami ukuran nisab tidak secara tekstual, yaitu sebagai simbol-simbol bilangan yang kaku. Ia menandaskan bahwa nisab zakat memang telah diatur dan tidak dapat diubah menurut perkembangan zaman. Akan tetapi, standar nisab ini harus diukur dengan emas, yaitu 20 miskal atau 90 gram emas. Menurutnya, emas dijadikan standar nisab karena nilainya stabil sebagai alat tukar.

Sejalan dengan tujuannya untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, ia memandang bahwa pemerintah sebagai ulil-amri (penguasa pemerintahan di negara Islam) dapat mengambil zakat secara paksa terhadap orang yang enggan membayarnya. Ia juga berpendapat bahwa pemerintah hendaknya membentuk sebuah dewan zakat (baitulmal) untuk mengkoordinasi dan mengatur pengelolaan zakat. Dewan ini haruslah berdiri sendiri, tidak dimasukkan dalam Depertemen Keuangan atau perbendaharaan negara. Karena pentingnya masalah zakat ini, ia mengusulkan agar pengaturannya dituangkan dalam bentuk undang-undang yang mempunyai kekuatan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar